Masih terlukis jelas saat pertama ia masuk ke dalam cerita hidupku. Bermula oleh rasa heran dan ketidakpercayaanku bahkan rasa benciku padanya. Ku ingat saat itu ia masih bersama dengan teman dekatku, sebut saja namanya dengan “echa”. Hampir setiap hari aku mendengar keluh-kesah tentang pria yang saat itu dekat dengannya. Ia yang menurut echa terlalu emosional dan over protektif. Entah mengapa keluhan itu membuat aku begitu membencinya.
“Pria macam apa itu..???” ungkapku dalam hati.
Pernyataan yang sama pernah ku lontarkan pada echa. Namun jawaban dan cerita tentang pria itu tidak pernah pasti dan sepenuhnya aku dapat. Sepertinya ia tidak ingin terlalu terbuka padaku. Yah, dulu echa pernah trauma saat sahabat dekatnya sebut saja “kiki” mendekati dan malah sempat menjadi milik pria itu. “ya sudahlah, toh itu bukan urusanku” ucap benakku. Aku tidak mau terlalu mencampuri kehidupan nya. Aku paham betul akan trauma itu. Aku hanya ingin menghiburnya. Aku tau echa membutuhkan itu. Hari demi hari ku dengarkan semua kisah echa.
Tiba-tiba muncul rasa penasaran yang begitu hebat. Entah datang darimana perasaan itu.
Aku seolah begitu mengenal pria itu. Tapi tak mungkin. Echa saja tak pernah bertemu dengannya. Yah…pria itu maya. Mereka hanya berkenalan dalam dunia maya. Rasa penasaran itu semakin membayangiku. Mengapa aku begitu ingin tahu tentangnya. Aku benar-benar merasa begitu dekat dengannya. Mungkin lebih dekat dari apa yang echa rasakan. “aneh…” fikirku. Seolah menertawakan diriku sendiri, hal mustahil dan orang lainpun mungkin tak pernah merasakan hal seperti ini.
Berhari-hari ku rasakan hal yang sama. Entah suatu kebetulan atau tidak hari itu aku bisa berbicara dengannya. Cukup lama kami berbincang. Aku bahkan sempat tidak memperdulikan ekspresi echa yang cemburu melihatku. Obrolan pertama itu begitu menyenangkan bagiku. Seperti mendapat kado yang tidak diharapkan. Pria itu membuatku selalu mengingatnya. Aku semakin merasa dekat dengannya.
Lepas dari apa yang aku rasakan hubungan echa dan pria itu terlihat baik-baik saja. Aku tidak terlalu mengetahui apa yang terjadi pada mereka. Jelas itu semua karena aku tidak begitu mengikuti cerita mereka. Penasaran dan ingin berbincang dengannya kembali menyelimutiku. Tapi echa tidak pernah memberiku dan pria itu kesempatan untuk berbincang lagi. Satu hari echa memintaku menemaninya ke kampusku. Ia mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa baru di kampusku. Dalam perjalanan sepulang mendaftarkannya, suatu yang menurutku bukan kebetulan, tanpa disengaja echa menitipkan telepon genggamnya padaku, karena ia yang memboncengku.
Hingga…. entah syetan mana yang merasukiku, tiba-tiba perlahan aku lihat-lihat setiap nomor telepon yang ada dalam phonebooknya. Sampai dipertengahan aku menemukan nomor telepon pria itu. Cepat ku simpan nomor itu di telepon genggamku. Seperti kancil yang maling sayur disebuah kebun aku bergegas menyimpan telepon genggam milik echa di saku-ku. Jantungku berdebar. Aku begitu takut, takut echa tau bahwa aku telah membongkar isi telepon genggamnya. Kulihat ke arah echa, tidak ada raut yang mencurigakan darinya. “ha…leganya…” benakku.
Sesampainya dirumah, seperti biasa aku langsung rebah diatas tempat tidurku. Tempat tidur double dengan ukurun nomor 2. Ku ambil telepon genggam dari saku celanaku. Tak ada lain hanya nomor pria itu yang aku perhatikan. “duh….gimana yah caranya…pulsa ku koit nih…” gumamku. Keberuntungan sepertinya belum berpihak padaku saat itu, padahal aku berharap bisa mendengar suaranya.
Ting…seperti bola lampu yang tiba-tiba menyala, ide cemerlang terlintas dikepalaku. Ku coba untuk mengirimkan pesan “call me” pada pria itu. Dua kali kucoba mengirimkan pesan itu. Kuterima balasan dari operator bahwa pesanku telah terkirim. Terus ku genggam telepon itu, berharap ada dering dan getar dari panggilan masuk.
Malampun semakin larut, tak ada satupun panggilan masuk yang mengarah ke telepon genggamku. “hmmmm…..mungkin dia tidak perduli…coz itu kan nomor baru yang ia tidak tau itu nomor siapa… ya udah deh…” gumamku kembali. Kelopak mataku juga sudah mendukung kantuk dan membawaku tidur.
Sore ini echa menjemputku untuk jogging seperti biasanya. Namanya aja yang jogging, tapi sampe di sport center bukannya jogging kami malah cuci mata. Maklum banyak cowok-cowok yang berolah raga sore disitu. Hari itu aku memang lebih banyak termenung dan diam. Aku sendiri tidak mengerti, yang jelas dikepalaku rasa penasaran itu terus menghantui.
Selesai jogging echa mentraktirku makan bakso. Yo’i..makanan favoritku tuh. Sampe di tempat bakso pria itu menelepon echa. “huuuhh….pengen deh ngobrol dengannya” ucapku kesal dalam hati. Aku benar-benar aneh yah. Nggak ada ujan nggak ada badai bisa penasaran sama orang yang belum kenal sama sekali.
Ops…tiba-tiba echa memberikan telepon genggamnya padaku. “nih, dia mau ngobrol sama kamu” ucapnya rada-rada kesal sambil menyodorkan telepon itu padaku. “cihuy…akhirnya aku bisa ngobrol lagi dengannya” sorakku dihati. “loh…emang mo ngomong apa” tanyaku dengan ekspresi berpura-pura bingung. Echa hanya membalasnya dengan gelengan kepala yang masa bodoh. Ku terima telepon itu. Obrolanpun berlangsung cukup lama. Perasaan senang hinggap dihati, sampe-sampe bakso yang biasanya cepat aku habiskan, saat itu hanya satu sendok yang masuk kedalam perutku. Obrolan dengan pria itu membuatku kenyang. Dan untuk kedua kalinya aku melihat echa sedikit kesal saat aku tersenyum-senyum waktu berbincang dengan pria itu. Echapun menyelesaikan suapan bakso itu dengan cepat. Buru-buru membayar dua porsi bakso itu dan bergegas mengajakku pulang. Dalam perjalanan pulang kubisikan bahwa aku mengirim pesan “call me” untuknya, kusebutkan nomor telepon genggamku dan kukatakan alasanku tak bisa meneleponnya karena tak ada pulsa. Segera ku tutup panggilan dan memberikan telepon genggam itu pada echa. “ngomong apa dia” Tanya echa. “nggak ada yang penting kok. Cuma Tanya-tanya tentang kamu aja dan aku jawab seperti yang kamu bilang juga..udah just it..” jawabku.
Sampai juga dirumah, mandi trus masuk kamar lagi. Lagi-lagi malam itu aku berharap pria itu akan meneleponku. Satu jam berlalu…tak ada panggilan masuk yang kuterima. Dua jam juga telah berlalu…tetap tidak ada panggilan masuk…. Hingga hampir tiga jam aku memperhatikan telepon genggamku, dan…ada dering dan getar panggilan masuk. Cepat kuraih telepon itu, kulihat disitu tertulis namanya. Yah..disitu tertulis nama “jati” itu panggilannya. Begitu senangnya, ia akhirnya menghubungi nomorku langsung. Saat itu ku tahu bahwa dia baru saja selesai menghubungi echa. Sedikit rasa cemburu bergantung dalam hatiku. Tapi….aku bukan-siapa-siapa.
Malam itu kami mebahas banyak hal termasuk tentang hubungannya dengan echa. Malam itu juga aku baru tahu bahwa ia tidak berpacaran dengan echa. Ia masih belum dapat melepaskan echa karena ia tidak ingin menyakiti hatinya. Ia menganggap echa seperti sodara perempuannya. Ia juga tahu bahwa echa telah banyak berbuat baik untuknya.
Perbincangan demi perbincangan berlangsung malam itu. Tak terasa sudah jam 3 pagi. Aku juga sudah benar-benar ngantuk, ia juga menyuruhku tidur. Akhirnya perbincangan itu kami akhiri.
Malam itu membuat perasaan ku semakin peka kepadanya. Rasa penasaran itu kini berganti sayang. Aku semakin tidak mengerti mengapa aku menjadi seperti ini. Tak masuk di akal aku bisa menyayanginya, ia tak pernah berbuat baik apapun padaku. Tapi aku benar-benar menyayangi pria itu.
Malam ini 04 September 2006 ia kembali meneleponku. Tapi kali ini aku tak mampu banyak berbicara. Aku merasakan perasaan yang semakin besar kepadanya. Aku lebih banyak diam. Malam itu ia juga merasakan ada yang aneh denganku. Ia bertanya ada apa denganku. Aku hanya mampu diam. Kepala dan hatiku benar-benar berkecamuk. Aku semakin tidak mampu mengontrol perasaan ini. Aku ingin bersamanya. Namun ku ingat echa yang masih menaruh perasaan padanya. Hanya diam dan diam… Sampai pada akhirnya airmataku jatuh. Entah kenapa butiran banyu itu terjatuh. Namun di sudut lain sepertinya pria itu tau apa yang aku rasakan, seoleh bisa membaca pikiranku. Tiba-tiba ia mengucapkan “kamu mau nggak jadi pacar aku”. Sontak aku terkejut dan semakin terdiam. Airmata yang tadi berderai jatuh berhenti seketika. “apa maksud kamu..” tanyaku tak mengerti.
Entah itu gombalan atau rayuan yang mengatakan ia menyukaiku, aku tak tahu lagi. Dibenakku bayangan echa terlintas. Aku tak dapat membayangkan bagaimana perasaan echa saat tahu bahwa aku sekarang bersama pria yang ia cintai. Ku sampaikan semua yang ada dipikiranku tentang echa padanya. Pada akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan hubungan ini, tanpa sepengetahuan echa. Mungkin seluruh dunia akan menyalahkan aku. Aku telah mengkhianati temanku. Namun aku tak dapat membohongi hati yang telah menyayangi pria itu. Aku telah jatuh hati padanya.
Seminggu sudah kami menjalani hubungan ini. Echa tak tahu bahwa kami telah bersama. Hampir setiap hari kami berbincang dan berdiskusi berbagai hal via telepon. Walaupun ku tahu sebelumnya ia lebih dulu menelepon echa. Ku tahan semua cemburu. Apakah itu cinta buta, aku tetap dengan ikhlas menjadi orang kedua yang ia hubungi. Hari kian hari berlalu via telepon atau via sms kami berkomunikasi. Tapi masih ada sedikit beban dan itu tentang echa yang masih ada dibenakku. Namun hal itu tidak begitu menganggu pikiranku. Aku hanya ingin menjalani hidupku apa adanya.
Sampai suatu ketika, aku berencana untuk menjual telepon genggamku. Aku ingin membeli telepon genggam dengan model yang lebih baru. Tak dinyana, abang sepupu echa membutuhkan telepon genggam. Tapi abangnya ingin melihat dulu kualitas telepon genggamku. Echa datang menemuiku dirumah, setelah menjelaskan maksudnya. Aku dan echa akhirnya bertukar telepon genggam. Sejenak setelah echa membawa telepon itu aku teringat bahwa semua pesanku dan pria itu belum di delete. “kacau…” pikirku.
Sepanjang malam aku memikirkan hal ini. Aku tak dapat membayangkan wajah echa yang marah kepadaku. Malam itu aku juga menceritakan semua pada pria yang telah menjadi kekasihku. “pantas aja echa tadi sedikit aneh, dia agak menginterogasi gitu…” ujarnya padaku, bercerita saat ia menepon echa sebelumnya. Bingung dan lelah memikirkan apa yang terjadi dengan echa, membuat kami akhirnya tertidur.
Hari kemudian berganti. Masih pagi echa sudah datang ke rumahku. Ketakutan dan apa yang aku pikirankan seperti menjadi kenyataan. Masih dengan ekspresi yang baik-baik saja echa menjelaskan bahwa teleponku jadi dibeli. Sambil menyerahkan uang, echa juga meminta kembali telepon genggamnya. Kemudian ia segera pulang, diluar dia memanggilku. “nes, aku tahu dia sekarang sama kamu khan…?” tanyanya dengan raut yang sedikit kecewa kepadaku. “nggak cha…kalau kamu mau aku bisa putusin dia..” jawabku.
Aku dapat melihat ia kecewa denganku. “udahlah nggak pa-pa kok..aku pulang yah..” ucapnya sedikit serak, kulihat cairan bening itu disudut matanya. Ia pun menjalankan motornya meninggalkanku. Betapa kalutnya aku saat itu. Perasaan bersalah semakin menyelimutiku. Aku telah mengahncurkan perasaan echa. Aku semakin bingung. Segera ku ceritakan semua pada kekasihku. Ia menyabarkanku. Ia memastikan masalah ini akan selesai. Ku turuti semua anjurannya.
Seperti biasanya malam ini ia meneleponku. Ia telah menjelaskan semua pada echa. Dari ceritanya echa marah dan merasa tidak menerima hubungan kami. Entah aku tidah begitu tahu apa yang ia katakan pada echa. Tapi aku mempercayainya untuk menyelesaikan masalah ini. Kemudian ia menyampaikan saran padaku. Kami berpura-pura putus di depan echa. Aku menurutinya walaupun sedikit kurang setuju dengan saran itu. Aku tidak mau masalah ini menjadi berlarut-larut.
Keesokan hari aku jalan ke kampus bersama echa. Diperjalan kekasihku mengirimkan pesan yang menyatakan kami putus. Sempat aku terlupa bahwa itu hanya berpura-pura, aku sontak sedih dan airmatakupun tiba-tiba jatuh di pipiku, namun aku kembali ingat itu bukan yang sebenarnya. Echa menatapku curiga dan iapun bertanya “sapa yang sms…?dia yah…?kenapa…?”. Ku katakan bahwa kami telah putus. Suaruku serak saat melontarkan pernyataan itu. Aku tak sanggup jika itu menjadi nyata. Saat perjalanan pulangpun echa kembali bertanya “kenapa harus putus”. Ku jawab “aku lebih pilih kamu cha…aku nggak mau menyakiti hati kamu…”. Tiba-tiba ban motor echa bocor, kami akhirnya berhenti di tukang tambal ban. Aku duduk dipinggir jalan menunggu. Aku diam dan tidak memperdulikan apa yang echa lakukan. Aku terlihat kacau, diam dan termenung tak tentu arah. Mungkin echa melihat ke-diamanku. Ia mendekatiku. “nes…kamu benar-benar sudah sayang dia yah…kok bisa sih…”. Ku jawab lirih “aku nggak tau cha..aku nggak tahu …aku merasa kehilangannya” sempat aku teteskan butiran bening itu. “aku nggak mau kamu sakit cha….semua aku lakukan untuk kamu..” jelasku lagi. Echa hanya hanya terdiam mendengarkanku. Aku tak tahu apa yang ia pikir tentangku.
Mulai saat itu, aku sedikit lebih diam. Terutama saat bersama echa. Hubunganku dengan kekasih memang baik-baik saja. Tapi kurasakan beban yang teramat berat. Aku selalu ingat echa. Aku selalu dihantui rasa bersalah. Aku rasa aku tak kuat lagi. Tapi aku tak sanggung jika harus menjelaskan semua pada echa. Hanya ada 2 jalan. Aku benar-benar putus atau ku pinta kekasihku untuk menjelaskan semua pada echa dan berhenti berhubungan dengan echa.
Ku katakan maksudku pada kekasihku. Akhirnya ia setuju untuk menjelaskan semua pada echa malam itu. Kemudian ia meneleponku dan mengatakan bahwa ia telah menjelaskan semua pada echa. Hatiku lega. “tapi gimana reaksinya…” tanyaku penasaran. “Echa sudah paham kok dan tahu. Dia bisa terima kita” jelasnya. “Alhamdulillah..” syukurku. Seolah mendapatkan kekuatan lagi. aku begitu lega bisa menjalani hubungan tanpa beban apapun. Cuma pengertian dari echa yang aku butuhkan. Aku tak mau hidupku dihantui rasa bersalah padanya.
Aku dan echa sering bertemu dikampus. Kami seperti biasa tetap berteguran. Namun kini ia sibuk dengan kuliahnya. Sampai suatu ketika ia berulang tahun. Aku diundang ke rumahnya. Ku bawakan ia kado beratas namakan aku dan kekasihku serta sebuah kartu ucapan yang berisikan ucapan selamat dan terima kasih telah menerima hubunganku.
Selanjutnya waktu terus berjalan. Tiba-tiba perasaanku tidak enak, aku merasa kekasihku kembali berhubungan dengan echa. Ku pastikan dengan bertanya padanya. Entah mungkin karena benar atau tidak bisa berbohong lagi. ia jelaskan bahwa ia masih sering berhubungan dengan echa. Marah bercampur sedih. Aku seolah-olah menjadi orang yang paling bodoh sedunia. Semenjak itu ia tak lagi berani menghubungi echa tanpa sepengetahuanku.
Entah darimana lagi persoalan kembali muncul. Kini echa yang memulai menghubunginya. Berulang-ulang masalah yang hampir sama datang, aku merasa hidupku tidak pernah tenang. Dan pada akhirnya echa justru membuatku kesal dan kamipun bertengkar. Kini aku dan echa tak lagi berbaikkan. Aku masih tak habis pikir dengan apa yang terjadi. Aku selalu berusaha baik pada echa, tapi dia tidak pernah menghargai semua itu. Padahal aku tak pernah berharap sedikitpun untuk menyakiti hatinya.
Namun terlepas dari permasalahan itu, kini hubunganku dan kekasihku berjalan lebih baik. Hampir empat tahun sudah aku jalan bersamanya. Banyak kisah yang telah aku toreh bersama dengannya. Tak jarang obrolan yang awalnya berniat untuk diskusi malah berujung pada pertengkaran. Selalu saja ada perbedaan dalam pemikiran kami. Tapi itu tak bukan masalah untuk kami. Justru karena perbedaan, aku dapat mengerti dan memahaminya.
Banyak orang yang menyangsikan kehadirannya untukku. “kok mau sih nes…kamu belum pernah ketemu, gimana kalo tiba-tiba ketemu orangnya…eh…matanya buta…atau nggak ada kakinya…hayo…kamu mau...” Celetukkan banyak orang tentangnya. Mereka hanya menganggap bahwa aku seperti hidup dengan bayang-bayang. Semua orang hanya tertawa dan mencibir dengan apa yang telah aku jalani. Hanya senyum dan sedikit penjelasan bahwa aku mempercayai hatiku untuk membalas pertanyaan dan pernyataan mereka. Aku mempertahankan sesuatu yang menurut orang itu mustahil. Tapi ini lah aku. AKU MENCINTAINYA setulus hatiku.
Aku berharap mimpi yang kini masih menjadi mimpiku di ridhoi yang Maha Kuasa. Ridho-Nya yang membuat aku semakin menyayanginya. Kuasa-Nya juga yang membawa perjalananku sejauh ini. Sejuta asa telah aku tulis untuknya. Sampai saat ini aku bahagia menjalani hidup bersamanya. Hanya dia yang dapat mengerti kekanakanku. Sikap manjaku yang terkadang malah membuatnya marah. Aku suka tersenyum melihatnya marah padaku. Dia yang FANA malah NYATA untukku.
*I LOVE U*